Kapasitas Tukar Kation
Pertukaran kation merupakan kejadian di alam yang penting
setelah fotosintesis karena berpengaruh terhadap penyediaan unsur hara bagi
tanaman.
Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kapasitas lempung untuk
menjerap dan menukar kation. KTK dipengaruhi oleh: (1) kandungan liat, (2) tipe liat, (3) kandungan bahan organik. Dengan kata
lain, KTK bervariasi tergantung pada jumlah humus, liat dan macam liat yang
dijumpai dalam tanah hutan. KTK penting untuk diketahui, karena bertalian
dengan kesuburan tanah dan aplikasi pupuk.
Meskipun bukan satu-satunya parameter, semakin tinggi KTK,
maka status kesuburan tanah semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah KTK,
maka status kesuburan tanah juga makin rendah. Dengan kata lain, KTK yang
tinggi mencerminkan tanah subur, sebaliknya KTK yang rendah mencerminkan tanah
tidak subur.
Ukuran diameter fraksi liat adalah 2 mikron (µm) atau 0,002
mm, sedangkan koloid berukuran terbesar tidak lebih dari 1 mikron. Berarti
tidak semua fraksi liat dikatakan koloid. Sebagian fraksi liat mengalami
pelapukan melalui aktivitasnya menjerap dan mempertukarkan kation hingga
menghasilkan koloid.
Koloid terdiri dari koloid humus (organik) dan koloid liat
(mineral, anorganik). Kedua koloid ini mempunyai sifat dan ciri yang berbeda.
Perbedaan utamanya adalah unit (misel) koloid humus tersusun dari karbon,
oksigen dan hidrogen, sedangkan koloid liat tersusun dari silikon (Si),
aluminium (Al) dan oksigen. Daya jerap koloid humus jauh melebihi liat koloid.
KTK koloid humus dapat mencapai 200 – 300 me/100 gr liat. Sedangkan KTK koloid
liat montmorillonit/smektit (tipe liat
2:1) sebesar 80 – 150 me/100 gr liat dan koloid liat kaolonit (tipe liat 1 : 1)
sebesar 3 – 15 me/100 gr liat. Campuran koloid humus dan koloid liat dalam
tanah akan saling menunjang peranannya dalam menjerap dan mempertukarkan
kation.
Nilai KTK Kaolinit lebih rendah daripada montmorillonit,
karena kaolinit mempunyai daya adsorbsi (jerapan) yang lebih rendah daripada
montmorillonit. Maka potensi kesuburan kaolinit lebih rendah dibanding
montmorillonit, sehingga respon pemupukan pada tanah hutan yang bertipe koloid
liat kaolinit juga lebih rendah dibanding koloid liat montmorillonit.
Pada mineral liat terdapat ion-ion yang melekat di kisi-kisi
kristalnya. Apabila mineral liat tipe 1:1 (1 lembar Si : 1 lembar Al), antar
lembar terikat kuat sehingga tidak bisa lagi disisipi ion. Sementara pada
mineral tipe lembar 2:1, dan tipe 2:2 memiliki muatan ion yang lebih besar.
Bentuk pengikat tipe-tipe mineral berbeda. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
kesuburan kimia tanah hutan, maka seorang silvikulturis dapat merubah KTK tanah
hutan dengan fokus bagaimana merubah tipe liatnya agar jumlah lembar Si dan Al
makin besar. Cara yang dikenal untuk meningkatkan KTK adalah dengan menambah
bahan organik dalam tanah.
Mineral liat terdiri dari lembaran-lembaran Al dan Si. Di
daerah kompleks pertukaran tanah (permukaan koloid tanah), lembaran Al berada
di bagian luar, Si di bagian dalam. Apabila KTK < 24 me/100 gr liat
menunjukkan tanah tua mengandung mineral tipe kaolinit. Apabila Jumlah lembar
Si dan Al makin kecil, maka KTK makin rendah, sehingga makin rendah tingkat
kesuburannya. Produk akhir dari pelapukan disebut laterit. Laterit diikat oleh
mineral liat tipe kaolinit. Makin tua umur tanah, seperti Oxisol, maka makin
kaya laterit.
KTK terdiri atas KTK Potensial dan KTK efektif. KTK efektif
merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam mengamati data kimia tanah,
karena KTK efektif mempunyai peran sentral yang berkaitan dengan tindakan
silvikultur khususnya pemupukan. Apabila KTK efektif bertambah besar maka
respon tanah terhadap pupuk makin tinggi, sebaliknya apabila KTK efektif kecil
maka respon tanah terhadap pemupukan makin rendah.
Untuk tujuan penentuan status kesuburan tanah, digunakan
satuan KTK me/100 gram tanah. Di mana 1 me (baca: miliekuivalen)/100 gram tanah
= 1 c mol (+)/kg tanah. Sedangkan untuk tujuan klasifikasi tanah dan penentuan
tipe mineral liat digunakan satuan KTK me/100 gram liat. Satuan KTK untuk
tujuan klasifikasi adalah me/100 gr liat, bukan me/100 gr debu atau pasir
karena reaksi fisiko-kimia hanya ada pada koloid, di mana koloid terdapat pada
liat. Koloid adalah ukuran massa tanah paling kecil. Koloid merupakan produk
pelapukan berupa material yang semakin
kecil. Liat paling besar memiliki koloid, selalu menghasilkan material paling
besar dibanding debu dan pasir.
Sebagai contoh, jika diketahui:
KTK
= 24 me/100 gram tanah
liat
= 40 %, maka:
KTK Efektif =
(24/40) x 100 = 60 me/100 gram liat.
Satuan KTK 24 me/100 gram tanah merupakan hasil analisis
laboratorium untuk mengetahui kesuburan tanah, sedangkan KTK efektif 60 me/100
gram liat digunakan oleh sivikuturis untuk mengetahui klasifikasi (jenis)
tanah. KTK efektif yang semakin menurun menunjukkan sebagai tanah-tanah tua
atau tanah-tanah yang mengalami pertambahan pelapukan.
Hubungan antara kesuburan tanah dan penggolongan tanah:
anjuran penggunaan pupuk adalah khas-tempat
perbedaan sifat tanah merupakan salah satu penyebab utama
untuk kekhasan menurut tempat
program penilaian kesuburan tanah harus berhubungan erat
dengan program penyigian dan penggolongan tanah
2. Kejenuhan Basa (KB)
Selain kapasitas tukar kation, Kejenuhan basa juga
menentukan kesuburan tanah. Kejenuhan basa merupakan perbandingan antara jumlah
kation-kation basa dengan jumlah semua kation
yang terdapat pada kompeks jerapan tanah yang terdiri dari kation asam
dan kation basa.
Tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan kandungan
basa/kation basa yang umumnya merupakan unsur hara tanaman yang tinggi pula dan
sebagai pertanda belum banyak mengalami pencucian. Tanah demikian dinilai
termasuk yang subur bagi pertanian dan kehutanan.
Selain mempertimbangkan parameter KTK, semakin tinggi juga
KB, maka status kesuburan tanah semakin tinggi. Dan sebaliknya semakin rendah
KB, maka status kesuburan tanah juga makin rendah.
Upaya silvikulturis tidak hanya memperhatikan KTK tanah,
melainkan perlu memperhatikan pula persentase kejenuhan basa. KTK Efektif dan
KB bagaikan mata uang logam yang kedua sisinya tidak bisa dipisahkan. Makin
tinggi KTK, maka makin kuat menjerap kation. Makin kuat menjerap kation, maka
potensi kesuburan tanah makin tinggi, tetapi KB harus juga tinggi. Mengapa KB
harus juga diperhatikan? Sebab bisa saja KTK Efektif yang tinggi mungkin kation
asam saja yang tinggi, belum tentu kation basa yang tinggi sehingga kesuburan
tidak tinggi. Oleh karena itu, selain ditentukan oleh KTK, kesuburan tanah juga ditentukan oleh KB
(Kejenuhan Basa).
Apabila hasil analisis tanah diperoleh KB 40 %, berarti pada
koloid tanah terdapat 40 % kation basa dan sisanya 60 % kation asam.
Makin rendah KB maka sebaiknya makin banyak pemberian kapur,
tetapi waktu pemberiannya tergantung pula KTK. KTK perlu diketahui, menyangkut
berapa muatan ion maksimum yang dimiliki tanah sebagai gudang hara. KTK
diilustrasikan sebagai ukuran gudang hara. Tanah yang memiliki KTK lebih kecil,
berarti kapasitas gudang haranya lebih kecil untuk menyimpan kation. Misalnya
tanah dengan KTK 10-15 me/100 gr liat maka pemberian kapur (misalnya
superdolomit yang mengandung Ca) makin sedikit karena daya tampungnya lebih
kecil dibandingkan tanah dengan KTK 30 me/100 gr liat.
Nilai kejenuhan basa
suatu tanah dipengaruhi oleh pH. Makin rendah pH tanah maka makin masam,
akibatnya KB makin rendah. Begitu sebaliknya, kalau pH tanah tinggi maka KB-nya
akan tinggi.
3. P Total (P2O5)
Setelah KTK dan KB, semakin tinggi kandungan P total, maka
status kesuburan tanah semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah, maka
status kesuburan tanah juga makin rendah.
P terdapat dalam 2 status, yaitu P total dan P tersedia.
Beberapa peneliti tanah hutan melaporkan bahwa nilai P tersedia paling tinggi
10 % dari nilai P total. Misalnya jika diketahui P total tanah = 136 ppm, maka
kandungan P tersedia tidak lebih tinggi
dari 13,6 ppm.
Menurut PPT (Anonim, 1983),
1 ppm P = 1 mg/100 gram P2O5 x 10/2,29
1 ppm P = 1 mg/100 gram P2O5
x 4,37
1 ppm P = 4,37 mg/100 gram P2O5
1 ppm P ≈ 5 mg/100 gram P2O5.
Fosfor merupakan unsur hara yang sering membatasi
pertumbuhan tanaman di daerah tropis. Khusus pada tanah tropis basah, ordo
Alisol, Acrisol dan Feralsol sangat sedikit mengandung P tersedia. Apabila P
tersebut jumlahnya kurang di dalam tanah, maka pertumbuhan tanaman akan
terhambat.
Di dalam tanah sumber utama P adalah mineral apatit dan
pupuk buatan. P dari mineral apatit pada tahap awal perkembangannya terikat
dalam bentuk Ca-P, sedangkan P dari bahan organik berasal dari sisa-sisa
tanaman dan penghidupan hewan serta organisme dalam tanah. Dengan demikian, P
dalam tanah digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu P organik dan P anorganik.
P diserap oleh akar tanaman dalam bentuk ion H2PO4- dan H2PO42-.
Ketersediaan P dalam tanah antara lain dipengaruhi oleh pH dan kandungan bahan
organik.
Pada pH 5,0 - 7,2, umumnya banyak dijumpai ion H2PO4- dan di
atas pH tersebut dominan HPO42. Saat kation basa (K+, Mg2+, Ca2+, Na+) tercuci,
kation-kation asam (Al3+) mendominasi kompleks koloid sehingga pada suasana
Al3+ dominan bersenyawa dengan PO42- yang bereaksi menjadi senyawa yang relatif
stabil sehingga P tidak bisa digunakan oleh tanaman. Pada pH ≥6,5 P mengalami
pengikatan dengan Ca membentuk Ca-Posfat dapat menurunkan P tersedia.
4. K Total (K2O)
Semakin tinggi K total, maka status kesuburan tanah semakin
tinggi dan sebaliknya semakin rendah K total, maka status kesuburan tanah juga
makin rendah.
Berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman, Kalium total dalam
tanah digolongkan kedalam 3 bentuk :
K relatif tidak
tersedia. Umumnya bentuk yang demikian ini masih berada dalam mineral
tanah seperti felsfat dan mika, mencakup 80-90 % dari K total.
K lambat tersedia. Bentuk ini tidak dapat dipertukarkan
namun merupakan cadangan ketersediaan K yang lambat tersedia. Bentuk ini
mencapai 1 – 10 % dari K total.
K segera tersedia.
Bentuk ini dapat
dipertukarkan, dan dapat diserap tanaman, mencakup 1 – 2 % saja dari K total.
Sumber Kalium adalah mineral-mineral silikat seperti
ortoklas, muskovit, biotit, felsfat, mika dan leusit. Kalium tidak memiliki
ikatan kovalen dengan persenyawaan organik, tetapi tanaman menyerap unsur ini
dalam bentuk K+.
Penambahan K dalam tanah sebagian besar dari pemberian pupuk
buatan, sisa tanaman dan pupuk alam serta mineral. Kalium dari tanah yang
lambat tersedia, sedangkan kehilangan K sebagian besar karena diangkut oleh
tanaman yang dipanen, berikutnya hilang karena erosi, pelindian (pencucian) dan
terfiksasi (tertambat) menjadi mineral yang lambat tersedia. K+ mudah tercuci
karena K+ bukan lagi dalam bentuk senyawa (yang terikat) melainkan sudah dalam
bentuk unsur (yang bebas). K+ dengan adanya air hujan sudah dapat melarut,
berbeda dengan Al3+ yang hanya dapat larut pada kondisi pH rendah.
K tersedia bagi tanaman dalam bentuk ion yang dapat
dipertukarkan pada koloid tanah. Walaupun K sangat banyak dalam tanah-tanah
mineral, kelarutan yang rendah dari mineral primer mengakibatkan rendahnya
ketersediaan unsur K. Namun demikian, selalu terdapat pembaharuan yang
terus-menerus dari mineral primer ke dalam bentuk yang dapat dipertukarkan.
Laju pencucian K bervariasi tergantung pada tipe liat dan jumlah bahan organik
dalam tanah.
5. C - Organik
Karbon berkaitan dengan kandungan bahan organik. Kandungan
bahan organik = 1,724 x C Organik. Dilihat dari distribusi vertikal dalam
tanah, unsur C dan N umumnya mempunyai pola yang sama. Konsentrasi tertinggi
ada di lapisan atas dan kemudian menurun secara berangsur di lapisan yang lebih
dalam.
Proses perombakan bahan organik menjadi bahan anorganik
terjadi melalui dua proses yaitu humifikasi dan mineralisasi.
Proses humifikasi adalah proses perubahan bahan organik
menjadi humus. Humus sebagai produk
humifikasi merupakan bahan organik yang bersifat seperti koloid atau bersifat
koloidal. Humus tidak pernah tebal karena selalu diurai oleh mikroorganisme. Di
hutan dataran rendah misalnya, humus tidak setebal daripada di hutan
pegunungan, karena setelah humus terbentuk maka mineralisasi terkendala.
Karena humus bersifat koloidal, maka belum tergolong dalam
bentuk unsur hara. Kalau humus sudah termineralisasi, barulah kemudian
berbentuk unsur hara. Koloid (misel)
adalah massa tanah yang terlibat aktif dari reaksi fisiko-kimia. Permukaan
koloid bermuatan listrik negatif (anion) dan positif (kation). Permukaan koloid
yang bermuatan negatif inilah yang mempunyai daya menarik kation- kation tanah.
Fungsi humus:
Berfungsi sebagai granulator, yaitu pengelompokan
butiran-butiran tanah yang bercerai-berai atau terlepas-lepas, kemudian
direkatkan oleh bahan organik dan selanjutnya tergabung menjadi granular. Tanah
yang berstruktur granular menjadi resisten terhadap gaya-gaya erosi agar dapat
meningkatkan ketahanannya terhadap tumbukan air hujan yang jatuh ke permukaan
tanah dan meningkatkan porositas tanah.
Akibat makin kecilnya butiran atau luas permukaan humus yang
makin besar dalam satuan volume tertentu, maka kemampuan menyimpan air makin
besar, sehingga makin dipertahankan kelembapan tanah.
Meningkatkan kapasitas tukar kation. Tidak ada bahan lain
yang dapat meningkatkan kapasitas tukar kation selain bahan organik. Apakah
memang KTK perlu ditingkatkan? Justru persoalan tanah di daerah tropika,umumnya
KTK sangat kecil, dan KTK menjadi lebih kecil lagi apabila tidak memiliki bahan
organik seperti humus.
Di samping humus, maka terbentuk produk samping dari
pelapukan bahan organik adalah asam humin. Asam humin adalah suatu cairan yang
terkandung dalam bahan organik tanah.
Kualitas bahan organik diukur dengan C/N. Data C/N Berkaitan
dengan laju humifikasi dan mineralisasi yang dilakukan oleh mikroorganisme
tanah. C/N menunjukkan baik atau tidaknya penguraian bahan organik.
a. C/N < 25.
Jika C/N < 25 maka kondisi lingkungan yang sesuai, baik
untuk perkembangan populasi mikroorganisme maupun untuk humifikasi dan
mineralisasi bahan organik. Bila
nitrifikasi baik, maka C/N akan rendah, dengan demikian bahan organik cepat
habis. Untuk mempertahankan bahan organik dalam tanah, harus disediakan N yang
cukup. C/N yang rendah menunjukkan dekomposisi bahan organik yang lanjut.
b. C/N = 25
Jika C/N = 25, merupakan pelapukan bahan organik yang ideal.
Ideal dalam arti berkaitan dengan adanya perkembangan populasi mikroorganisme
disatu sisi dan disisi lain menunjukkan bahwa kegiatan mikroorganisme
melapukkan bahan organik masih berlangsung secara optimal.
c. C/N > 25
Jika C/N > 25, maka humifikasi dan mineralisasi
terhambat. C/N > 25 artinya komponen kaya akan bahan organik. Karbon berkaitan
dengan air dan udara, yang bertalian dengan struktur tanah dan porositas. Jika
C/N >25 maka pasti ada kendala, dimana populasi mikroorganisme tidak
memiliki lingkungan yang baik untuk berkembang dan pengurai bahan organik
terhambat. Hal ini berkaitan dengan pH,
drainase buruk. Misalnya pada tanah gambut (histosol/organosol) sering terendam
air sehingga mempunyai drainase yang buruk, maka organisme akan kesulitan
menggunakan oksigen untuk berespirasi, akibatnya bahan organik tidak bisa
melapuk. Dengan kata lain, bila C/N > 25 memberi indikasi terdapatnya
kondisi yang menghalangi kerja mikroorganisme, mungkin karena drainase tanah
yang buruk, atau penyebab lain seperti elevasi tanah terlalu rendah sehingga
sering terjadi banjir kiriman. C/N > 25 - 50 dikatakan buruk, artinya C
dominan, sebaliknya N sedikit. Bila C/N bahan organik tinggi maka akan terjadi
persaingan N antara tanaman dan mikroorganisme, dalam hal ini N diinmobilisasi.
C/N yang tinggi menunjukkan dekomposisi belum lanjut atau baru mulai.
Cara untuk mengatasi masalah rendahnya C organik lazimnya
dilakukan melalui penambahan bahan organik. Penambahan bahan organik juga akan
memperbaiki struktur tanah melalui pengelompokan butiran-butiran tanah yang
bercerai-berai atau terlepas-lepas, kemudian direkatkan oleh bahan organik dan
selanjutnya tergabung menjadi granular. Tanah yang berstruktur granular menjadi
resisten terhadap gaya-gaya erosi sehingga dapat meningkatkan ketahanannya
terhadap tumbukan air hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Granulasi dapat
meningkatkan porositas tanah, meningkatkan daya simpan air serta memperbaiki
drainase dan aerase.
Pengaruh humus (bahan organik) terhadap sifat-sifat tanah:
1. Pengaruh secara fisik:
warna tanah menjadi lebih kelam. Coklat-hitam: menaikkan suhu.
Meningkatkan agregasi (granulasi tanah) dan stabilitas
agregat, aerasi (penghawaan) lebih baik, drainase perembihan, pelulusan) lebih
baik, lebih tahan terhadap erosi
Mengurangi plastisitas pada tanah lempung (liat-clay), tanah
lebih mudah diolah (lebih gembur)
Menaikkan kemampuan mengikat/menyimpan air
2. Pengaruh secara kimia:
Menaikkan KTK (humus mempunyai KTK>200 me/100 gr).
Merupakan salah satu sumber unsur hara (penting dalam
daur/siklus unsur hara)
Merupakan cadangan unsur hara utama N,P, S dalam bentuk
organik dan unsur hara mikro (Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, Ca) dalam bentuk khelat
(chelate) dan akan dilepaskan secara perlahan-lahan.
Meningkatkan aktivitas, jumlah dan populasi mikro dan makro
organisme tanah (bakteri, fungi, actinomycetes, cacing, serangga dan lain-lain)
Bahan organik dapat di amati pada profil tanah lapisan
teratas yang berwarna coklat tua atau kehitaman. Kandungan bahan organik
tergantung dari jumlah bahan organik yang dikembalikan ke tanah, laju
dekomposisi yang terjadi sepanjang tahun dan kedalaman tanah.
Proses perombakan bahan organik menjadi bahan anorganik
terjadi melalui dua proses yaitu humifikasi dan mineralisasi.
Proses humifikasi adalah proses perubahan bahan organik
menjadi humus. Humus yang merupakan
produk humifikasi merupakan bahan organik yang bersifat seperti koloid atau
bersifat koloidal. Humus tidak pernah tebal karena selalu diurai oleh
mikroorganisme. Di hutan dataran rendah misalnya, humus tidak setebal daripada
di hutan pegunungan, karena setelah humus terbentuk maka mineralisasi
terkendala.
Karena humus bersifat koloidal, maka belum tergolong dalam
bentuk unsur hara. Kalau humus sudah termineralisasi, barulah kemudian
berbentuk unsur hara. Koloid (misel)
adalah massa tanah yang terlibat aktif dari reaksi fisiko-kimia. Permukaan
koloid bermuatan listrik negatif (anion) dan positif (kation). Permukaan koloid
yang bermuatan negatif inilah yang mempunyai daya menarik kation- kation tanah.
Di samping terbentuk humus, maka terbentuk produk samping
dari pelapukan bahan organik adalah asam humin. Asam humin adalah suatu cairan
yang terkandung dalam bahan organik tanah.a